Senin, 29 Agustus 2016

Ending Story

"Saya mau jujur... tapi jangan marah ya?..."
"Lagi semester kemarin.. saya bicara tentangmu pada keluarga saya... tapi mereka ndak setuju.. dengan alasan bla..bla.. jadi dulu saya sempat bicara tidak untuk dilanjutkan. Saya takut sampean berharap.. saya yang paling takut ucapan orangtua dan kyaiku.. Aku disarankan sama orangtuaku untuk bersama orang pilihan mereka. Mohon untuk tidak memutus silaturrahim. Setelah disarankan oleh orangtuaku.. saat idul fitri saya ketemu sama dia.. dengan orangtuanya dia.. mohon maaf.. tapi saya juga sudah bilang mau S2 dulu.. Alhamdulillaah saling mau nunggu. Mohon untuk tidak memutus silaturrahim..."

---

Sudah dua minggu, aku melakukan shalat istikharah untuk mengambil sebuah keputusan. Dan hari ini, semua itu terjawab dengan gamblang. Ternyata, apa yang waktu itu kau tuliskan adalah sebuah kesalahan. Nyatanya, aku yang terlalu berharap dan nggak tahu kalau ternyata itu typo.

Muhammad, saat kau memberitahu berita ini, anehnya, hatiku tidak sakit. Mataku tidak berair. Inginnya, memaksakan diri menangis atau baper seperti yang pernah aku lakukan. Saat berpisah dengan Helmiy, aku menangis sejadi-jadinya, tapi denganmu? Ya mungkin ini jawaban terindah dari Tuhan. :)

Sebab, selama dua minggu ini, aku berdoa, "Ya Allah, jika Mamad Muhammad Fauzil Abad adalah jodohku, baik bagi agamaku, duniaku, akhiratku, keluargaku, dekatkanlah. Segerakanlah. Mantapkanlah hatinya dan hati keluarganya. Mantapkanlah hati hamba dan hati keluarga hamba. Jika Mamad Muhammad Fauzil Abad bukan jodohku, jauhkanlah segera, dan jadikan hatiku ikhlas serta ridho menerima keputusan-Mu. Sembuhkanlah hatiku. Gantikanlah dengan yang lebih baik darinya, dan sekufu denganku. Karena sesungguhnya, Habibah ingin jodoh yang cinta kepada-Mu, kepada rasul-Mu, kepada al Quran-Mu, kepada Sunnah Nabi-Mu, dan mengajak hamba menikah untuk meraih keridhaan-Nya."

Ternyata, doa itu dikabulkan oleh-Nya. Allah menjauhkanmu dariku dengan segera. Seperti kabar yang ku dengar hari ini. Tanpa rasa sakit yang berlebihan, tetapi keikhlasan yang menenangkan. Kamu, bukanlah jodohku. Sekalipun baik sekali bagi kehidupanku.

Kamu takut ya saya berharap berlebihan? Apalagi jika kau membaca surat-surat sebelum akhir kisah ini? Hahaha. Ya wajarlah, saya perempuan. Mana mungkin saya tidak punya harapan?

Sebenarnya, saya ingin bertanya mengapa keluargamu tidak setuju dengan saya? Apakah karena ajaran kita yang berbeda? Berbeda dalam hal apa? Hahaha. Tapi, aku tak bernafsu untuk menanyakan ini. Karena sekali tidak disetujui, yasudah. Selesai. Setidaknya, aku bersyukur akhirnya Tuhan memberiku jawaban terbaik-Nya untukku. Ini sama seperti dulu saat aku istikharah tentang pindah sekolah. Tepat dua minggu, Allah memberiku jawaban. Tambahannya, aku harus menyelesaikan nadzar puasa Daud sampai akad.

Kamu orang baik, makanya kamu dijodohkan dengan yang lebih baik. Saya juga percaya saya orang baik dan akan dijodohkan dengan orang yang baik pula. Jodoh itu memang tetap di tangan Tuhan. ;)

Kesalahan saya adalah, saya terlalu memakai hati saat kamu melancarkan banyak pertanyaan tentang pernikahan. Kamu, tidak pernah salah. Kamu, orang baik yang pernah saya kenal. Terimakasih karena telah mengajariku banyak hal ya.

Muhammad, hari ini, dengan niat karena Allah, aku mengikhlaskanmu kepada-Nya. Aku memilih untuk mengikuti pilihan orangtuaku yang dapat mendatangkan keridhoan orangtuaku.

Sampai di sini kisah kita.

Wassalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh. ^_^

Selasa, 23 Agustus 2016

Ku fikir, aku tak punya lagi kaa-kata yang akan ku sampaikan setelah perjalanan terakhir kita kemarin di candi gedung songo, tanggal 14 Agustus 2016 lalu. Ternyata, anggapan perpisahan kita tidak pernah terjadi.

Termasuk tentang screenshoot status kamu di facebook. Sebenarnya, ada banyak yang ingin ku tanyakan. Tetapi, aku takut kau menganggapku terlalu agresif.
aku hanya ingin bertanya, mengapa kau menulis status tegas seperti itu setelah ku katakan tentang tanggapan positif Ayahku terhadapmu? Apakah status itu untukku? Atau, kau sudah punya calon?
Saat di rumah kemarin, aku sedih melihat statusmu. Ku fikir itu untukku, dan itu tanda bahwa kau sudah tidak ingin memilihku lagi. Tapi, benarkah?
Aku bercerita soal ini ke Ayah-Ibuku. Ibuku bilang, 4 tahun kelamaan. Tetapi Ayahku terlanjur suka padamu. Muhammad, apa yang membuatmu mengambil keputusan seperti itu?

Apakah kau sudah tidak bingung lagi memilih calon istri? Apakah aku ada dalam pilihanmu? Apakah 4 tahun lagi, kau akan mengakhiri masa lajangmu denganku?

Aku, mengadukanmu pada Tuhan kita, Allah. Sebab, dg-Nya lah aku dapat meminta petunjuk apakah kita berjodoh atau tidak. Memang, belum ada jawaban yang jelas dari-Nya. Tetapi, aku takkan berhenti meminta petunjuk itu.

Jujur, Muhammad. Interaksi kita tentang keluarga di tahun lalu, seperti prosesi taaruf, dan dari situ, aku mulai berfikir untuk memilih.

Aku, memilihmu. Sekarang, aku tidak dekat dengan laki-laki manapun. Helmiy, Edy, aku sudah tidak lagi membuka pintu untuk mereka. Apalagi, Ayah dan Ibuku setuju denganmu.

Aku memilihmu berdasarkan kriteria dari nabi. Dan yang paling ku pilih adalah agamamu. Aku yakin kau bisa mendidikku. Kita bisa membangun rumah tangga dengan dasar takwa kita kepada Allah. Kita bisa berjalan bersama menuju Allah. Membangun generasi yg cinta Allah, cinta nabi, cinta Quran, dan cinta hikmah. Kita bisa saling melengkapi dan menguatkan. Apakah kamu juga mau memilihku?

Kalau iya, aku ingin sekali mengajakmu sama-sama istikharah. Meminta petunjuk Allah apakah pilihan kita benar? Karena dengan istikharah, Allah pasti akan memberikan jalan keluar dari kesulitan kesulitan yang ada pada kita. Kalau misal kita berjodoh, Allah asti akan membuka rezeki untuk kita, Allah kuatkan kita, Allah mantapkan hati kita dan keluarga kita, dan Allah permudah semuanya.

Itu, kalau kau juga telah memilihku.

Sebab aku takut melanggar janji dan prinsipku pada Allah. Aku hanya ingin mencintai di bawah naungan ridha Allah.

Muhammad, kata Ayah, kita selesaikan dulu S1 ini. Setelah S1, kau diperkenankan untuk berkenalan dengan Ayah Ibuku. Itu, kalau kau memang telah memilihku. Kita bisa sama-sama melanjutkan S2 kalau kita sama-sama mendapat beasiswa. Bukan tergesa-gesa, tetapi Ayah Ibuku takut kita terjerumus dalam dosa.

Mungkin kau akan marah dan menganggap aku tak berlogika berkata spt itu. Soal materi kan yang sulit? Apa ini yang membuatmu mengambil keputusan untuk menikah 4 tahun lagi? dengan rencana selama 4 tahun kau akan persiapkan materi? Tapi, apakah tidak sejak dulu kau menabung? Allah Maha Kaya.. Ingat surah An Nur ttg Allah yg akan memberi kekayaan kepada pemuda-pemudi yang mengambil jalan halal?

Aku tidak akan berhenti istikharah. Aku meminta petunjuk pada Allah. Aku percaya, kalau kita berjodoh, Allah pasti akan memberi jawaban lewat banyak kemudahan dan kemantapan hati. Kalau kita tidak berjodoh, aku yakin Allah akan memberiku jodoh yang lebih baik darimu dan sekufu denganku.

Di sini.. Ku utarakan niat suciku. Aku siap hidup denganmu dari nol, berjuang bersama, karena Allah. Kita bisa menjalankan peran masing-masing sebagai suami-istri nanti dengan menegakkan hukum Allah. Soal rezeki, aku percaya kata-katamu dulu, bahwa kau akan berusaha keras. Kalau kita sama-sama melanjutkan S2, kita bisa sama-sama belajar dan berjuang. Kita bisa meraih mimpi bersama. Aku yakin, pengetahuanmu soal pernikahan sudah cukup untuk membangun pondasinya. Materialmu, dari pekerjaanmu menjadi seorang ustadz juga cukup, dan kita bisa mengelola pesantren bersama kelak. aku juga bisa menjadi pengasuh santri rumah tahfidz, dan kita bisa saling berbagi. Taqwa? Bukankah menikah adalah jalan kita bertakwa kepada Allah? Kau lebih tahu bahwa taqwa artinya menjaga dari sesuatu yg tdk disukainya. Menikah adalah jalan itu. agama kita selamat separuhnya. Separuh lagi, bisa kita perjuangkan bersama, jika dasar rumah tangga kita adalah meraih keridhaan Allah.

Semoga Allah memberi jawaban terbaik atas persoalan ini. aku bertawakkal pada-Nya, Muhammad. Ku harap kau juga.

Rabu, 03 Agustus 2016

PENUTUP

"Tapi, kemarin ada yang ketinggalan.."

"Apa?" Tanyaku.

"Maaf... dulu lagi pas kita bahas tentang perkenalan keluarga dan karakter..memang saya punya rasa suka untuk dilanjutkan ke jenjang pernikahan.. namun saya takut kualat dengan prinsipku, jadi bagaimana saya bisa ndak memikirkan perempuan walaupun itu juga terpikirkan.. maaf yah udah bikin resah."

"Saya ingin belajar dulu... sehingga hasilnya bisa maksimal"

"Jadi, itu bukan sekedar kamu menganggap saya temen? Soal kamu dulu bilang rindu, suka, dan cemburu, itu bukan main-main?" tanyaku, memastikan.

"Ngapain suka dipermainkan.. tapi saya ingin fokus belajar dulu. Saya hanya kagum sama kamu. Semoga orang yang mendapatkanmu orang yang sekufu. Karena orang baik sepertimu insyaa' Allah mendapatkan yang baik pula."

"Bila suatu saat tidak berjodoh, semoga dijodohkan oleh Allah dengan yang lebih baik. Saya takut akhirnya kecewa... karena jodoh hanya Allah yang tahu."

"Kita jalani hidup ini dengan kata 'sahabat sejati' atau 'saudara' aja.. jangan dengan kata 'pacaran'... biar suatu saat ndak ada yang kecewa..."

* * *

Hari ini, aku merasakan perasaan saat kau menuliskan kalimat-kalimat itu dua bulan yang lalu. Aku ingin, kalimat-kalimat itu yang menjadi penutup surat-suratku ini. Meskipun, sepuluh surat ini sama sekali tak mungkin kau baca.

Kau tahu perasaan apa itu?

Aku menangis, Muhammad. Menangis lagi. Bukan karena kau menjauh, bukan karena kau menyakitiku. Aku menangis karena menyadari hal-hal menakjubkan yang baru ku tahu, yang ada dalam dirimu. Hal-hal yang ku ketahui itu membuatku merasa jatuh terhempas, merasa tak pantas.

Muhammad..
Aku kini sadar betul siapa aku. Hari ini, sempurna sudah ku dengar keistimewaan dari dalam dirimu sendiri.
Selamat yaa. Selamat karena pasti di semester ini, kau akan menjadi mahasiswa terbaik di FUHUM. Semoga, kau juga terbaik se-universitas. Kau akan mendapat beasiswa lagi di sini. Kita positif akan berpisah.

3,90 dan 3,87 .. itu selisih IPK kita semester ini.

Muhammad..
Aku kagum denganmu. Baru ku temukan lelaki hebat sepertimu. Pintar, cerdas, sholih. Selalu istiqomah.

Seperti kata-katamu di awal tahun ini:
"Aku kagum denganmu. Baru ku temukan perempuan hebat sepertimu. Pintar, cerdas, sholihah. Selalu istiqomah."

Apa yang kau katakan padaku, apa yang menjadi pujianmu padaku, apa yang menjadi perasaanmu, ternyata menjadi apa yang ingin ku katakan padamu, apa yang menjadi pujianku padamu, dan apa yang menjadi perasaanku.

Muhammad..
Aku menyimpanmu dalam kenangan. Sembilan puluh empat halaman percakapan kita di Black Berry Messenger selama satu tahun ini, ku simpan rapi dalam komputerku. Tak ada yang terlewatkan, dan percakapan di atas adalah penutup dari kenangan yang tersimpan itu.

Ada banyak. Bukan hanya percakapan di situ saja. Semua yang ada di pesan singkat (SMS), inbox (Messenger-Facebook), bahkan peristiwa yang kita alami, semua ku tulis kembali dan ku simpan dengan baik di sini. Foto-foto yang dikirim temanku tentangmu, yang dikirim sepupumu, dan foto-foto kita yang tanpa sengaja. Musik, lagu, yang menjadi kenangan antara kau dan aku. Ku simpan semua.

Muhammad..
Aku tidak tahu, apakah ini maksudku untuk menyerah? Yang ku tahu, setiap kali aku mencobanya, tak pernah bisa. Tuhan lebih berkuasa menjadikan kita lagi dan lagi, terus dan terus, bertemu tanpa disengaja.

Tak ada yang bisa ku perbuat, selain menunggu. Bukan menunggumu untuk memilihku, tapi menunggu Tuhan apakah berkenan menghapus rasaku? Meskipun ada sedikit bisikan hati yang ingin jika Tuhan memberikan keputusan agar kau untukku, dan aku untukmu. Bisikan tentang harapan dimana rasa-rasa sendu ini berubah menjadi rasa yang paling indah.

Tetapi... sekali lagi ku ulangi: aku merasa tak pantas untukmu, sekalipun perasaan itu sama besarnya dengan perasaan ingin Tuhan menakdirkanku bersamamu.

Aku juga sadar, cintaku salah.
Aku merasa pedih dengan hatiku yang terbang tinggi karena mendapati kesempurnaan yang Tuhan berikan padamu.

Kamu...memang lelaki hebat. Lelaki sholih. Pintar. Cerdas.

Aku tidak tahu kapan kita akan berakhir? Kapan aku dan kamu berpisah? Yang aku tahu, lima bulan lagi, kita akan segera diwisuda.. lalu melanjutkan hidup masing-masing.

Kenangan-kenangan kita hari ini memang kembali lagi. Kenangan dimana kau menjadi guruku, mengajariku banyak hal, me-review semua pelajaran di kuliah kita selama tiga tahun ini, untuk ujian nanti. Kenangan di mana pertama kalinya kau memakan apa yang ku buat dengan tanganku sendiri.

Jika kau lupa apa nama kuenya, biar ku ingatkan: itu namanya KUE RAMBUTAN. Itu kue kesukaanku.
Aku senang kau menikmatinya. Bahkan kau yang menjadi penikmat terakhir dari satu butir cookies yang tersisa.

Mungkin, selama dua minggu ke depan, kita akan bertemu setiap hari untuk belajar bersama lagi. Bahkan mungkin kita akan piknik bersama, mengunjungi tempat pariwisata bersama teman-teman kita. Tetapi, aku akan menikmatinya sebagai seorang sahabat, seorang saudara, sebagaimana perasaanku ketika bersama sepupumu, atau teman-temanmu Mba Fida, Uci, dan kawan-kawan.

Ku anggap, inilah kenangan-kenangan terakhir kita, sebelum kita PPL, KKN, KKL.
Mungkin, kita akan bertemu lagi di ujian Munaqosah. Juga mungkin, di wisuda bulan Januari 2017 nanti, akan menjadi pertemuan terakhir kita. Aku tidak pernah tahu skenario Tuhan kecuali setelah kita mengalaminya.

Aku menerima semua ini, Muhammad.
Aku sadar aku tak pantas berharap menjadi pilihan terakhirmu.
Aku sadar aku tak pantas berimajinasi mendidik generasi qur'ani bersamamu.
Aku sadar aku tak pantas bermimpi meraih cita-cita bersamamu.
Sekalipun ada banyak hal yang sama di antara kita. Sekalipun ada banyak suara yang mendukung kita.

Aku serahkan ini pada Tuhan. Bukan padamu. Sebab, jika Tuhan berkehendak memerintahkanku memilihmu, maka pasti Dia yang akan menggerakkan dan memantapkan hatimu untuk bertemu Ayahku, orang yang paling mirip denganmu.

Mamad Muhammad Fauzil Abad, aku berharap ini terakhir kalinya aku jatuh cinta. Sekalipun aku tidak tahu apakah Tuhan menjadikanmu cinta terakhir yang dapat ku miliki?
Aku...terlalu trauma untuk jatuh cinta. Kini aku tahu bagaimana caranya untuk tidak jatuh cinta lagi. Jadi, sekalipun nanti ternyata kau bukan jodohku, meski nanti aku menangis, aku tetap bisa menjalani hidupku, meraih impian-impianku.

Karena masa laluku sebelum bertemu denganmu terlalu suram, dan masa sekarang bersamamu terlalu menggetarkan.

Aku tidak menyesal mengenalmu. Justru aku bersyukur, dengan mengenalmu, aku tahu betapa indahnya mencintai karena Allah, bagaimana menjaga diri karena-Nya, bagaimana mempertahankan prinsip demi keimanan dan agama kita.

Muhammad..
Aku, tidak akan mengejarmu, dan tidak akan lagi berbuat hal yang mempermalukanku sendiri.
Kenangan-kenangan itu akan ku simpan meski mungkin tak ingin ku kenang kembali. Tetapi, jangan berprasangka yang tidak-tidak, karena kenangan bersamamu semuanya indah, bermanfaat, dan penuh berkah.

Akhirnya, surat ini ku akhiri dengan sempurna.
Aku tak berharap kau membacanya. Karena, cukup menuliskan hal-hal ini, hatiku merasa lega. Karena, sebenarnya, masih banyak hal yang ingin ku utarakan, namun tak sanggup tanganku merangkainya.

Muhammad..
Saat ini, aku ingin mengalihkan duniaku dengan mimpi-mimpiku. Aku bermimpi menjadi seorang penghafal Quran yang tidak hanya hafal lafadz dan makna, tetapi hidup di dalamnya. Aku punya mimpi mengajar anak-anak yang ada di sekitarku nanti untuk cinta pada al Quran. Makanya setelah lulus ini, aku ingin ke Bandung, mencari lowongan menjadi pengasuh di pesantren Quran sambil belajar lebih dalam. Aku ingin menirumu yang tak pernah lelah memperbaiki diri dengan ilmu.

Jika ternyata kau tidak memilihku, tak apa. Bagiku, sudah cukup untuk mencintai. Sudah cukup untuk tahu rasanya dicintai. Aku menunggu 'saat' itu tiba. 'Saat' dimana aku dapat memberikan hadiahku pada Sang Cahaya.

Semangaat ya, Muhammad. :)
Ku akhiri surah ini dengan ungkapan maafku yang sebesar-besarnya, dan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Sampai jumpa lagi.

Habibah.

Wassalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

"Aku pulang dulu ya, Habibah.."


"Iya, Muhammad. Hati-hati."

Jumat, 29 Juli 2016

Surat Terakhirku untukmu, Muhammad.

Tak perduli seberapa miripnya kehidupanmu, cara hidupmu, keluargamu, dengan orang yang paling ku cintai ini, jika kau bukan yg ditakdirkan Tuhan untukku, aku akan mencoba ikhlas kok.

Ya meski harus baper di saat terakhir mendengar kisah tentang keluargamu dari sepupumu. Rumahmu, apa yang kau lakukan di sana, bagaimana ayah-ibumu, kakekmu, saudaramu. Meski jadi tahu apa yg akan kau lakukan nanti jika melanjutkan di Bandung. Dimana tempatnya.

Mengapa kau begitu istimewa? Mengapa aku menemukanmu di tengah impianku yg besar terhadap kota Bandung, dan mengapa kau membuatku terbawa perasaan yang amat sangat parah?

Apa aku harus mengurungkan diri pergi ke sana seperti Rania yang enggan pergi ke Korea supaya tdk bertemu Hyun Gun?

Kau curang. Memang curang. Kenapa kau ambil mimpi-mimpiku.😢 Aku punya mimpi melanjutkan ke Bandung, dan aku takut dianggap bahwa aku yg mengikutimu, aku yg mengambil mimpimu.

Impianku sejak kecil, jika aku gagal di al Azhar, aku ingin sekali membangun masa depan di Jabar, khususnya di kota Bandung.. Sblm merantau ke kota ini, sblm brtmu dgmu, aku gagal mewujudkan impianku ke kota Mesir. Apakah aku juga harus kehilangan mimpiku yg sangat sederhana ini?😢

aku senang sekaligus sedih mendengar kau mau melanjutkan di bandung. Katanya, kau akan tinggal di masjid dan mengajar di lembaga pendidikan itu dekat Cibiru-hilir. Tempat saudaramu. Mengapa mimpi kita sama? Aku senang sebenarnya. Tapi aku takut dibilang mengikutimu. Aku juga takut semakin mengagumimu kalau kita sama-sama di sana.

Ayahku saja sempat berkata,"Apa karena Muhammad mau ke Bandung jadi kamu ikut ke sana juga?"

Aku tidak suka dianggap begini. Aku tidak ingin kembali menjadi gadis agresif seperti di masa laluku dulu. Bandung memang impianku sejak dulu. Sebelum bertemu denganmu. Hanya saja, Ayah berkata begitu setelah mendengarku hampir menolak tawarannya. Ayah ingin aku mengambil kelas weekend S2 nanti kemudian mengelola rumah tahfidz di Pekalongan. Dan hari ini, ketika aku mendapati kenyataan betapa aku tidak pantas mengharapkanmu, aku berpikir untuk memilih tawaran Ayah. Aku berpikir untuk menerima beasiswa di Semarang.

Baiklah, entah mengapa aku berpikir untuk melanjutkan di kota Semarang mengikuti kemauan Ayahku. Mungkin bisa jadi karena kamu. Karena hanya ingin agar tidak bertemu denganmu lagi. Karena aku tak bisa memilihmu.

Bukan tidak bisa. Tapi aku merasa tidak pantas mengharapkanmu. 😢

Apa yang ku dengar semalam, membuatku menyadari betapa besarnya rasa cintaku padamu. Tetapi, semakin ku sadari besarnya cinta itu, semakin ku merasa putus asa terhadapmu.

Baiklah, akan ku ceritakan terakhir kalinya, apa yang ku tahu tentangmu selama dua tahun terakhir ini.

Pertama kali kenal denganmu, penampilanmu mirip sekali dengan penampilan ayahku dulu saat muda. Bahkan ayahku mengatakannya sendiri. 😢

Saat aku mulai tahu tentangmu, semakin yakin kau mirip dengannya. Masa mudamu, yg diisi dg mengajar bahasa Arab, mengajar anak-anak. Ibuku bilang, kau mirip sekali dengan Ayah.

Saat kau mulai mendekatiku, dan kita berbicara soal karakter calon suami-istri, pernikahan, keluarga, aku merasa kaulah yang ku cari selama ini. Kau yang ku inginkan. Ada hal yang ku yakini bahwa kau dapat membawaku dan mengajakku ke surga. aku merasa kita benar-benar cocok membangun keluarga. Prinsip kita sama. Kita sama-sama ingin mendidik anak seperti didikan generasi salaf dulu. Kau bisa bekerja sama denganku untuk mewujudkan keluarga penghafal Quran. Aku senang mendengar saat kita berbicara tentang hal ini. Saat kita masih dekat.

Seiring berjalannya waktu, aku mengenal sepupumu. Dia bercerita banyak tentang kebenaran yang kau ceritakan bahwa kau memang anak kyai. Dia jg bercerita bagaimana keadaanmu di rumah, bagaimana orangtuamu. Katanya, di rumah, Ibumu hanya suka menyetel quran atau sholawat. Ayahmu mengisi kajian. Waktu itu, aku terlalu terbawa perasaan karena kondisi keluarga kita sama. Ayahku mengisi kajian, dan Ibuku tidak trllu suka barang elektronik. TV di rumah hanya distel di dalam kamar orangtua. Persis sepertimu bukan?

Aku juga mendengar bagaimana kakekmu. Kakekmu adalah orang yang dulu punya pesantren, yang membangun lembaga pendidikan. Ayahmu yang melanjutkan. Sama denganku. Kakekku juga mendirikan pesantren dan menggaji banyak guru agama di Palu, Sulawesi Tengah, dan Ayahku yang melanjutkannya.

Saat kita tidak dekat lagi, saat ada seorang wanita yang menanyakan perihal kamu padaku, aku mengetahui banyak hal darimu tentang kehidupanmu di sini. Kau banyak yang suka. Orang-orang tahu kau siapa. Sedangkan aku tidak tahu kau seistimewa itu. Untuk itulah, aku pernah mengirimkan surat panjangku padamu, menyatakan bagaimana kondisi keluargaku. Aku bukan anak kyai. Aku hanya anak ustadz. Hanya kadang-kadang orang menganggap Ayahku kyai. Tapi Ayahku enggan dibilang kyai..

Mulai saat itu aku merasa minder. Kamu, apakah aku pantas mengharapkanmu? Kau sembunyikan semua keistimewaanmu, dan aku mengetahuinya di belakang. Tidak sptku yg bercerita sendiri dg mulutku. Betapa rendah hatinya kau, mendekatiku tanpa menampakkan kau siapa. Padahal orang-orang sudah tahu kau siapa. Maafkan aku yang tak bisa mengenalimu dengan baik.

Dan sekarang, semalam, ku dengar lagi cerita yang lebih lengkap tentangmu, tentang keluargamu, dan tentang rumahmu di Majalengka. Hatiku tak sanggup mendengar semuanya. Aku seolah merasa sama seperti wanita-wanita lain yang mengagumimu. Meskipun telah kau katakan kau suka padaku dulu untuk dilanjutkan ke jenjang pernikahan.

Sepupumu bilang, Ayahmu seorang yang hebat dan terkenal. Ayahmu tidak memperbolehkan kamu pacaran sebelum S2 dan kerja. Persis sepertiku. Ibumu sangat sayang padamu karena kau anak bungsu. Keluargamu punya lembaga pendidikan, dan kau ikut mengajar di sana. Sepupumu saja kadang-kadang disuruh ceramah. aku? Jauh di bawahmu. Jauh sekali. Ini hal terkeren yang pernah ku dengar, dan aku takut menjadi sangat mengagumimu dengan kondisi bahwa aku punya banyak kekurangan.

Meskipun aku senang saat sepupumu bilang, Ibu dan kakak-kakakkmu suka bikin cookies sepertiku, kakakku, dan Ibuku. Saat aku takut keluargamu tak menerimaku ketika sepupumu bicara soal kasih sayang ibumu yang amat besar, sepupumu menyampaikan hal ini seolah menenangkan.

Aku teringat kisah Ibuku ketika baru menikah dengan Ayah. Ibu dari Ayahku ikut mereka saking sayangnya dengan Ayah. Mengapa kehidupanmu harus sama dengan Ayah sehingga hatiku makin teruji?

Iya ini kabar baik kalau kita memiliki latar belakang, prinsip, karakter, dan cara hidup yang sama. Kita juga sama-sama pernah tahu isi hati masing-masing. Tapi, apa kamu masih bertahan dengan perasaan itu? Kalaupun iya, apa kau tahu kekuranganku? Kalau kau tahu, apa kau dapat menerimanya?

Setelah mengetahui banyak hal istimewa darimu, aku sulit menemukan kekuranganmu agar aku dapat melupakanmu. Justru, semakin ku lihat keistimewaanmu, semakin dalam ku lihat kekuranganku.

Kamu twadhu', benar-benar menyembunyikan semuanya. Aku tidak.
Kamu tampan, bersih, aku tidak.
Kamu anak kyai, orang kaya, nasabmu mulia. Sedangkan aku hanya anak ustadz, keluarga orang sederhana, nasabku juga tidak setenar kamu. Ayahku dulu hanya seorang petani yang mengasuh pesantren dan mendirikan madrasah. Tapi ini tidak sehebat seperti keluargamu yang sudah ku dengar sendiri dari Cucu, sepupumu.

Maaf, aku wanita..aku seperti ini..terbawa perasaan..

Hari ini aku sangat sedih karena menyadari betapa besar kekagumanku terhadapmu, lebih besar dari kekagumanmu padaku. Aku sedih mengapa aku merasa menjadi pihak yang paling punya rasa dan menganggap perasaanmu biasa-biasa saja untukku.

Aku tidak ingin pacaran. Aku ingin cinta ini untuk suamiku di masa depan. Tapi mengapa kini hatiku tak bisa ku jaga? Apakah cinta adalah tanda siap untuk menikah? Tapi kan itu hanya aku.

Ada satu hal lagi perbedaan di antara kita. Kalau suatu saat nanti ternyata kau masih menyimpan niatmu, apa kau bisa menerima keadaanku dan keluargaku seperti yang pernah ku ceritakan?

Ayahku seorang imam masjid, guru bahasa Arab, pengajar tafsir di pesantren tahfidz putra dekat rumah, dosen terbang di universitas swasta, dan pengisi kajian tafsir di Pekalongan-Batang-Wiradesa-Kabupaten. Kami tinggal di lingkungan Muhammadiyah, dan juga di lingkungan seperti NU, Salafi, Al Irsyad. Golongan aswaja. Tapi kami bukan termasuk salah satu yang fanatik di antara mereka. Ayah-ibuku adalah kader dari Al Khairat Palu, guru di sana dulu. Ayahku membawa kami dari satu perubahan ke perubahan di setiap ia belajar satu hal ke hal yang lain tentang al Quran, Hadits, dan Fiqh. Ayahku lama menjadi santri hingga mengabdi ke berbagai daerah di Indonesia. Sempat 7 semester kuliah Ahwal Syakhsiyah, sarjana ilmu hukum di Pekalongan, dan magister studi Islam di Semarang. Ibuku dulu 3 semester kuliah kedokteran UI, 5 semester kuliah syari'ah di sulawesi, sarjana ekonomi di Pekalongan, dan lulusan pendidikan keahlian herbalis. Ibuku seorang pedagang pakaian muslimah dan dokter herbal. Keluarga pihak ibuku beda dg ayah. Rata-rata berpendidikan umum. Ibuku asli Palembang yang lama hidup di Bandung. Ibu dari Ibuku sarjana agama. Ayah dari Ibuku sekolah umum. Kakek dari Ibuku di Palembang seorang tokoh agama di Lahat. Tapi keturunannya berpendidikan umum semua. Tidak seperti Ibumu yang bahkan keturunan dari Iran dan berpendidikan agama semua sampai anak-anaknya. Hanya keluarga Ayahku yang punya keturunan dari Hadrmaut dan Baghdad. Ibuku keturunan indo-cina. Tidak sepertimu yang Ayah-Ibu juga keluarga besarmu sempurna dan jelas. Asli seluruhnya Jawa Barat.

Ini perbedaan kita. Dunia kita yang tak sama. Kamu lebih istimewa dariku. Dan kenyataan ini membuatku berpikir apakah kau dapat menerimaku?

Ah, terlalu jauh. Apa kau masih menyimpan harapan itu?

Kita sama-sama takut kecewa dan dikecewakan.
Kita sama-sama takut sedih kalau tak berjodoh.

Tapi, perbedaan ini, dan prasangkaku tentangmu, membuatku ingin pergi. Mengapa aku merasa kau tak lagi berpikir soal ini? Apa kau tak penasaran bagaimana hatiku? Atau kau sudah tahu tapi tak mau memikirkannya?

Inilah yang membuatku ingin menulis surat terakhirku.
Kau benar, aku harus fokus menimba ilmu, dan kalau kita tidak berjodoh, semoga kita mendapat yang sekufu. Aamiin.

Terimakasih atas segalanya.
Aku tak pernah menyesal mengenalmu.
Justru banyak pelajaran yang dapat ku ambil dan ku teladani darimu.

Aku minta maaf.

Wassalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh .

Selasa, 19 Juli 2016

Assalaamu'alaikum, Helmiy

Tak ada kekuatanku untuk memaksamu menjadi sepertiku yang dahulu. Antara cinta dan tidak cinta, itu tak bisa disamakan.

Baiklah, aku memang tak menyukai sifatmu, cara hidupmu, dan tak bisa bangga hidup denganmu. Tapi, apakah pernikahan hanya tentang itu?

Baiklah, silahkan jika ingin menyerah. Ada beban dalam hatiku yang sulit sekali orang tahu.

Tapi tak mengapa. Aku bisa mencoba dan mencoba lagi untuk terbiasa tanpamu. Ini hanya karena aku kurang konsisten meski telah berlalu satu tahun.

Satu-satunya jalanku adalah..pergi dari kota ini.

Selamat tinggal, Helmiy. Semoga bahagia dengan pilihanmu.

Wassalaam.

Senin, 18 Juli 2016

Surat ke-9: Aku Bimbang

Menemukan fakta memang menyakitkan. Tapi itu lebih baik dari pada terus-menerus hidup dalam Ilusi.

Aku bimbang. Ya, bimbang di saat kau lama tak menyapaku. Memang, kau Muhammad, memberiku ucapan doa dan selamat. Tapi, tidak terjadi interaksi di antara kita. Terlebih di pagi ini, aku menemukan fakta masa lalumu. Bersama mba Atus.

Tidak, aku tidak marah. Aku hanya kesal dengan diriku. Pada akhirnya, aku kembali bimbang dengan kalian berdua. Helmiy, dan Muhammad.

Helmiy, aku tidak tahu mengapa kembali mengharapkan usahamu. Padahal setahun ini aku sadar bahwa aku tidak punya alasan apapun untuk mempertahankanmu.

Kau mengakui bahwa tak ada yang dapat ku banggakan jika kau jadi suamiku, hidup denganmu. Tapi, apakah pernikahan itu soal bangga membanggakan?

Bukan. Bukan aku meminta kembali. Aku hanya ingin melihat dimana Tuhan menempatkan jodohku. Apakah dalam dirimu atau dalam diri Muhammad?

Masalahnya, Ayah tidak merestuimu. Malah memilih kau Muhammad. Tapi, apa kau Muhammad masih punya niat dan rasa suka itu padaku?

Entahlah, aku bimbang. Kau Helmiy juga membuatku bimbang. Kau bilang kau tak mau kembali, tetapi kau bilang kau masih berharap dan suka padaku.

Ibuku tidak merestuimu karena kamu tidak bisa baca quran. Juga karena kamu bergaul dengan lawan jenis tanpa batas. Ibuku pun tahu kau pernah selingkuh. Begitu juga dengan Ayah. Ayah tidak pernah mau menyebut dengan bangga dirimu di hadapan adik atau ipar-iparnya. Setahun ini, sempat aku melupakanmu karena hal ini. Karena alasan logis mereka.

Tetapi semalam, sepasang muda-mudi bertamu dan curhat dengan ayah-ibuku bahwa ayah si wanita tidak direstui. Ayah Ibuku justru menyuport mereka agar jangan menyerah. Tapi kau? Kau menyerah. Tanpa pernah berusaha. Kau seolah menerima dan memang berharap ayah-ibuku tidak merestui.

Aku memang senang ketika aku bertanya "menurut perasaan Abah, jodohku siapa?" lalu mereka menjawab, "Muhammad".

Tapi, apa benar? Kalau semua keluargaku setuju, apa kau masih menyukaiku. Semua tidak berarti bukan jika tanpa rasa sukamu. Sungguh berbanding terbalik. Ya, kalian berdua yang berbanding terbalik.

Parahnya, aku yang mengejar kalian berdua. Aku egois. apa mungkin aku harus merupakan semuanya?

Siapa diantara kalian yang benar-benar mau memperjuangkanku?


Kamis, 14 Juli 2016

Surat ke-8; Do you know my Birthday?

Lama sekali aku tak menulis surat lagi untukmu. Hari ini aku ulang tahun yang ke-21. Aku ingin menulis seuatu untukmu. Bercerita tentang hal-hal yang telah ku lewati setelah surat ke-7.

Sepupumu, Cucu, memberitahukan padaku bahwa di hari ketiga setelah lebaran kemarin, kalian berkumpul di rumah nenek di Majalengka. Aku juga, aku sedang berkumpul dengan keluarga kakek di Bandung. Kakekku sudah tiada. Adanya tinggal nenek tiri. Betapa senangnya aku mendapat kabar dari sepupumu. Katanya, kau telah menceritakan tentangku ke Mamahmu. Aku penasaran, apa yang kau ceritakan? Apakah kau menceritakanku yang pernah mengungkapkan perasaanku padamu? Atau, kau ceritakan suratku yang pernah ku kirim padamu? Aku malu.. tapi sayang, sepupumu pun tidak tahu apa yang kau ceritakan ke Mamahmu. Dia hanya tahu bahwa Mamahmu tahu namaku, tahu tentangmu.

Katanya, itu berawal dari kakakmu yang ada di facebook bertanya tentangku di tengah-tengah antara kau, sepupumu, kakakmu, dan mamahmu. Saat dia hendak bercerita, ternyata dia bilang, Mamahnya sudah tahu semua, dan kau diledekin dengan namaku di sana. Tapi kau tersenyum malu. Apakah itu tanda bahwa perasaanmu masih ada? Tapi, mengapa sampai di hari itu kau tak ada kabar?

Namun aku lega, karena sehari kemudian, kau membalas pesanku, meski hanya balasan permohonan maaf lahir-batin lebaran dan satu like statusku yang, "Bukan kamu yang mencuri mimpi-mimpiku. Aku yang mencuri mimpi-mimpimu. Tapi nggak sengaja. Gimana coba??". Haha, apa kau menyadarinya jika aku menulis status ini untukmu? Status ini pun terinspirasi dari menonton film Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea yang ku tonton bersama bibiku di Bandung.

Meski hanya itu responmu. Tak apa. Setidaknya aku masih bisa menganggapmu ada dan dekat. Ah iya, hari Ahad lalu (10 Juli 2016), aku berhenti di dekat daerah tempat tinggalmu, Majalengka. Daerahnya masih asri ya. Selama hampir satu minggu di sana, aku merasa kau seperti dekat dengan jiwaku. Karena kita sama-sama berada di Jawa Barat. Ayah dan Ibuku juga suka meledekku dengan namamu saat kami berhenti di rest area sana.

Hmm, tapi aku sedih setelah sampai di rumah. Karena akhirnya kita jauh lagi. Apa kita akan bertemu lagi tanpa disengaja saat di Semarang nanti? Entahlah. Tapi, bukankah itu sering terjadi dalam kisah kita? Katanya, di film Koala Kumal karya Raditya Dika, pertemuan tanpa sengaja yang lebih dari tiga kali itu miseri. Bukankah kita mengalaminya? Hahaha. Aku mungkin bermimpi.

Terlepas dari cerita itu semua, sebenarnya aku merindu. Meski rindu itu tidak sebesar rindu di surat yang ke-7. Cintaku padamu penuh dengan alasan logika. Kau, satu arah, satu prinsip, dan satu karakter denganku. Bagaimana dengan rasa sukamu padaku dulu, apakah ia adalah cinta tanpa alasan?

Muhammad, memang ada harapan agar kau ingat tanggal ulang tahunku hari ini. Tapi, itu tidak begitu berarti. Karena, aku takut kenangan yang kau buat akan mengecewakanku jika kita nantinya tak bisa bersama. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa cinta yang kita inginkan akan menjadi jodoh. Aku tahu perasaanmu saat mengatakan, "Aku takut menyesal dan kecewa jika tidak berjodoh". Aku takut menyebut namamu dalam doaku, Muhammad. Aku hanya bisa terus bertanya pada Tuhan apakah kau boleh menjadi jodohku?

Muhammad, hari ini usiaku duapuluh satu tahun. Kalau suatu saat nanti kau ingin tahu tanggal lahirku, atau kau lupa dan ingin mengingatnya lagi, catat baik-baik: 14 JULI 1995. Aku tak meminta apa-apa. Suatu ucapan sekalipun. Aku diingat tetapi bukan semacam ingatan semu.

Ya, aku ingin selalu diingat sebagai bidadari surgamu. Tapi, apakah aku bidadari surgamu?

Aku punya banyak mimpi di usiaku yang sudah setua ini. Kau tahu apa?

1. HAFAL QURAN SECARA DHABITH
2. WISUDA DENGAN NILAI MEMUASKAN DAN BERKAH
3. MENGAJAR AL QURAN (TAHFIDZ)
4. MASUK PASCASARJANA UIN BANDUNG PRODI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR